Hingga saat isu mengeai kesenjangan sosial masih cukup menarik untuk dikaji, bahkan tak akan pernah tuntas sampai kesenjangan itu benar-benar lenyap. Lantas, akankah persoalan tersebut bisa tuntas dan lenyap ? Jawabannya tidak mungkin, kesenjangan itu akan selalu menyertai kehidupan masyarakat manusia, di manapun dan kapanpun.
Dengan demikian, isu mengenai kesenjangan sosial akan selalu hadir, dan tak pernah habis-habisnya. Kesenjangan sosial tak mungkin lenyap sama sekali, sedangkan berbagai upaya yang selama ini begitu gencar dilaksanakan, seperti program anak asuh, rehabilitasi sosial daerah kumuh, pemukiman suku terasing, pembinaan pedagang asongan, atau program kesetiakawanan sosial lainnya, hanyalah merupakan upaya untuk menekan tingkat kesenjangan sosial.
Pada seluruh unit populasi manusia di seantero biosfir bumi ini, kesenjangan selalu ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut muncul sebagai resluntan dari interaksi antar individu denga individu, individu dengan kelompok, atau antar kelompok dengan kelompok.
Dalam interaksi tersebut, terdapat perbedaan taraf kemampuan atau kapasitas, baik dari segi ekonomi, sosial, budaya, intelektual atau segi psikologis. Individu manusia memiliki genotif dan fenotip yang berlainan, ada yang memiliki keunggulan tertentu, ada pula yang memiliki kelemahan.
Total keunggulan yang dimiliki oleh seluruh individu dalam populasi, akan menjadi ciri dari keunggulan populasi atau kelompok tersebut. Begitu pula, suatu keunggulan yang dimiliki oleh bangsa tertentu, akan menjadi ciri khas bangsa tersebut. Umpamanya, bangsa Jepang yang dikenal karena keuletannya, atau bangsa kita yang sejak lama dikenal karena semangat gotong-royong serta keramahannya. Masing-masing individu, populasi atau kelompok masyarakat, dan bangsa tertentu, memiliki keunggulan dan kelemahan tertentu. Perbedaan-perbedaan itulah yang merupakan penyebab pokok dari adanya kesenjangan sosial.
Untuk mengurangi tingkat kesenjangan sosial maka dicetuskan gagasan mengenai pemerataan. Langkah pemerataan tak lain merupakan upaya untuk menekan tingkat kesenjangan. Tetapi pemerataan di sini tidak dimaksudkan untuk membuat segalanya serba rata, hingga tidak terdapat lagi jarak atau gap antar kelompok. Lagi pula ide tersebut, tampaknya sangat tidak mungkin.
Bagaimanapun gap itu selalu terjadi dalam interaksi antar individu, kelompok atau bangsa, yang tak lain merupakan dampak eksternal dari adanya perbedaan potensi atau sumberdaya yang dimiliki masing-masing individu, kelompok atau bangsa.
Selain itu, ternyata gap tersebut menjadikan pola interaksi selalu dinamis. Dengan adanya gap maka terciptalah hubungan buruh-majikan, klien-patron, debitur-kreditur, dan sebagainya. Hanya masalahnya, bagaimana caranya supaya gap tersebut tidak terlalu lebar, hingga kecemburuan dan keresahan sosial tidak terjadi.
Untuk itu di antara kelompok-kelompok yang “berbeda” tersebut, harus terdapat pola interaksi yang harmonis. Umpamanya antara kelompok buruh dan majikan harus terdapat hubungan yang serasi dan seimbang, masing-masing menjalankan hak dan kewajibannya sebagaimana mestinya.
Untuk mengatur pola interaksi tersebut, maka harus ada semacam acuan. Umpamanya dalam hal interaksi buruh-majikan di negara kita, perlu mengacu pada Hubungan Industrial Pancasila (HIP). HIP tak lain merupakan konsep untuk menjembatani kesenjangan antara buruh dan majikan.
Di negara kita, buruh atau pekerja umumnya memiliki bargaining power yang relatif lemah, yakni karena kuantitasnya berlebih sedangkan kualitasnya rendah. Dengan adanya HIP, paling tidak buruh yang berkonotasi dengan “yang kecil”, kekuatan menawarkan terhadap majikan yang berkonotasi dengan “yang besar” bisa meningkat.
Dengan demikian, salah satu kelompok “yang kecil” tersebut, dewasa ini mulai memperoleh sentuhan. Bagaimanapun, buruh merupakan aset terpenting bagi sebuah perusahan, sudah selayaknya untuk mendapatkan hak-haknya. Bahkan, dengan makin digencarkannya penerapan pemerataan, maka kini buruh memiliki kemungkinan untuk menjadi “pemilik” perusahaan, yakni dengan perolehan saham melalui koperasi.
Upaya pemerataan juga ditujukan bagi kelompok-kelompok masyarakat kecil lainnya. Melalui berbagai paket kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi moneter dan perbankan, maka kelompok pengusaha kecil juga mendapat sentuhan, di mana berdasarkan ketentuan sekitar 20 persen kredit perbankan diperuntukan bagi mereka. Paling tidak, para pengusaha kecil kini memeproleh bantuan modal, manajemen dan pemasaran produknya.
Sebenarnya, masih ada kelompok masyarakat “yang kecil” lainnya yang kurang tersentuh pembangunan. Bahkan, mereka seolah merasa asing dengan pembangunan. Mereka bukan buruh atau pengusaha kecil, mata pencaharian mereka tergolong “informal”, tidak tersentuh koperasi atau kredit perbankan.
Mereka tak lain dari masyarakat lapisan terbawah, yang umumnya dikatagorikan sebagai penyandang masalah sosial. Yang termasuk dalam kelompok tersebut umpamanya para gelandangan dan pengemis, yang umumnya bermukim di perkotaan. Tampaknya, pemerataan akan sulit diterapkan pada lapisan masyarakat terbawah ini. Mengingat begitu lebar kesenjangan yang telah terjadi. Mereka begitu tertinggal, oleh sebab itu diperlukan bentuk penanganan khusus.
Jangan sampai pembangunan yang sedang digalakan, makin menyudutkan posisi mereka, karena terbentuk gap yang makin kokoh. Mengacu pada prinsip kesetiakawanan social, selayaknya “yang kecil” pun harus secara bersama-sama ikut menikmati hasil pembangunan. Dengan demikian, kesetiakawanan social sudah selayaknya bukan sekedar slogan dengan bentuk kegiatannya yang temporer, tetapi harus benar-benar kongkrit dan berkelanjutan. Dan upaya pemerataan tersebut, harus dilakukan secara bersama-sama, melalui partisipasi proaktif berbagai pihak.